Aturan mengenai pinjam pakai kawasan hutan tanpa kompensasi lahan, entah siapa yang mengusulkan, sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Produk hukumnya PP Nomor 105 Tahun 2015. Sejauh ini belum ada yang menentang PP yang terkesan dadakan dan seolah bertujuan untuk memacu pembangunan infrastruktur. Adakah terkait juga dengan rencana proyek kereta cepat?
Padahal, Perum Perhutani, sebagai pengelola hutan Jawa sudah menyampaikan pemikiran berbeda.
Direktur Utama Perum Perhutani Mustoha Iskandar, tengah tahun lalu, menyatakan
lahan pengganti tetap diperlukan untuk mempertahankan luas kawasan hutan di
Jawa. Satu-satunya BUMN kehutanan itu juga siap menjadi penyedia lahan
pengganti agar pembangunan infrastruktur tetap bisa berjalan.
“Sebanyak 70% konflik tenurial yang terjadi diakibatkan
tidak tuntasnya lahan pengganti pada proyek-proyek infrastuktur,” kata dia di
Jakarta, Selasa (23/6/2015).
Langkah Perhutani yang tetap meminta lahan kompensasi tak
lepas dari arahan yang diberikan Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno. Menteri
Rini, bahkan kabarnya sudah melayangkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Siti Nurbaya terkait hal itu. Mustoha membenarkan, bahwa ada
arahan dari Menteri BUMN agar Perhutani bisa menjaga aset kawasan hutannya.
Jika melihat ke belakang, Perhutani bukan satu-dua kali
harus merelakan kawasan hutan yang dikelolanya untuk pembangunan strategis dan
infrastruktur sumber daya air. Pembangunan Waduk Cirata dan sejumlah
infrastruktur lainnya, termasuk waduk Jatigede yang segera diresmikan ternyata
masih menyisakan persoalan lahan kompensasi. “Sampai saat ini masih ada
beberapa lahan kompensasi yang belum diselesaikan,” kata Mustoha.
Salah kasus lahan pengganti yang tidak tuntas dan menyisakan
masalah adalah tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan tebu negara seluas
12.000 hektare di Majalengka, Jawa Barat. Proses tukar menukar yang sudah
disepakati sejak tahun 1978 itu hingga kini belum juga tuntas. Saat ini
masyarakat sedang mengajukan gugatan class action agar lahan tersebut
dikembalikan sebagi kawasan hutan.
Landbanking
Lambannya penyediaan lahan kompensasi untuk pembangunan
infrastruktur proyek pemerintah, adalah mekanismenya yang harus mengikuti
proses APBN. Padahal, situasi di lapangan berkembang sangat cepat dengan harga
tanah yang terus melambung.
Ajaibnya, sebuah perusahan tambang bisa menyediakan lahan
dengan mudah seluas seribuan hektare, sebagai kompensasi kegiatan eksploitasi
di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Berkaca pada kasus ini, Mustoha
yakin, persoalan lahan kompensasi bisa diselesaikan lebih mudah jika dilakukan
dengan pendekatan bisnis. “Kalau ada perusahaan yang bisa, kami juga bisa,”
katanya.
Itu sebabnya, Perhutani pun akan mengajukan diri untuk
menjadi penyedia lahan dan membentuk land banking pada proyek infrastruktur
strategis. Hal itu memastikan proyek-proyek penting tetap bisa berjalan.
Dengan membangun landbanking, maka Perhutani akan mencari
dan membeli lahan yang akan dijadikan kompensasi proyek infrastruktur. Mustoha
menjelaskan, untuk pembelian lahan tersebut bisa merogoh kocek sendiri. “Bisa
juga kami tawarkan kepada Dana Pensiun jika berminat, ini kan investasi juga,”
katanya
Nantinya APBN akan mengganti investasi yang sudah dikucurkan
untuk menyediakan lahan pengganti. Proses demikian akan lebih ringkas dan
efektif, meski sama-sama memanfaatkan dana APBN.
Mustoha juga yakin, pihaknya tak kesulitan mecari lahan
pengganti. Menurut dia jika memang serius diinventarisasi, mencari lahan kosong
seluas 1.000-2.000 hektare di Jawa masih dimungkinkan. “Kalau untuk pengganti
pembangunan waduk, masih ada di Jawa,” katanya.
Prosedur yang ditawarkan Perhutani pun lebih mudah
diimplementasikan. Hal ini dikarenakan dasar hukum yang mesti dibongkar tidak rumit.
Revisi cukup dilakukan pada Peraturan pemerintah (PP) No. 72 tahun 2010 tentang
Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani), yang memberi ruang bagi
Perhutani untuk membentuk landbanking.
Sementara jika rencana mekanisme pinjam pakai tanpa kompensasi
coba diwujudkan, berarti itu harus mengamandemen Undang-undang No.41 tahun 1999
tentang Kehutanan. Sebab dalam Pasal 18 ayat 2 UU Kehutanan tersebut, luas
kawasan hutan pada satu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau minimal 30%
dengan sebaran yang proporsional. Saat ini saja, luas kawasan hutan Jawa sudah
pas-pasan.
“Proses pembahasan revisi PP 72 tahun 2010 sudah
kami lakukan. Dalam waktu dekat kami harap bisa selesai,” kata Mustoha.Impian dari para profesional usaha hutan ini agaknya buyar dengan hadirnya PP nomor 105 Tahun 2015. Hutan yang hilang biarlah berlalu, cukup diganti dengan program reboisasi. Kecuali ada yang berani melangkah melakukan judicial review sebelum UU No. 41 Tahun 1999 diamandemen. Balapan, deh.
0 komentar:
Posting Komentar